5/15/2013

Ciri-ciri Manusia Yang Beruntung

Assalamu'alaikum warahmatullah... ALLAH SWT banyak menggambarkan tentang orang-orang yang beruntung. Dalam al Quran di awal-awal al Baqoroh orang yang beruntung adalah orang yang beriman kepada perkara ghoib, mendirikan sholat, menunaikan zakat. Termasuk pula beriman kepada kitab-kitab yang Allah turunkan. Dalam surat al Mukminun, Allah menggambarkan lebih panjang dan lebih detail lagi. Orang yang beruntung adalah orang yang bersyukur atas nikmat Allah dan bersabar atas ujian Allah. Rosulullah bersabda, “Sungguh menakjubkan keadaan orang yang beriman, segala urusan baginya selalu baik. Dan hal itu tidak akan terjadi kecuali pada orang yang beriman; jika dia mendapat kesenangan dia bersyukur, dan hal itu baik baginya. Dan apabila tertimpa kesulitan dia bersabar dan kesabaran itu baik pula baginya.” (HR. Muslim) Keyakinan, tingkah dan sikapnya tersebut benar-benar didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran sepenuhnya bahwa orang yang selalu mengikuti perintah Allah tidak akan pernah dikecewakan. Disamping itu orang yang beruntung menurut Ibnu Qoyyim juga memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama: Tambah ilmu, tambah rendah hati dan rasa kasih sayangnya. Ibaratnya ia seperti kata pepatah, semakin berisi semakin merunduk. Tambahnya ilmu semakin mengantarkan dirinya sadar betapa masih banyaknya hal-hal yang tidak ia ketahui. Karenanya ia justru semakin rendah hati dan semakin besar rasa kasih sayangnya pada sesama. Tambahnya ilmu menjadikannya tambah iman, tambah taqwa dan tambah takutnya kepada Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28) Kedua: Tambah amal, tambah pula rasa takut dan kehati-hatiannya dalam melaksanakan perintah Allah. Semakin banyak amal sholih yang mereka torehkan tidak lantas membuat berbangga diri atas amal tersebut. Ia justru semakin takut karena khawatir amalnya tidak diterima. Ia justru semakin hati-hati dalam beramal. Ia tidak ingin amalnya terbuang sia-sia tanpa balasan kebaikan dan ridho Allah. Ia sadar amalnya bisa batal karena riya’, sum’ah, ujub dan penyakit-penyakit hati lainnya. Ia selalu teringat firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al baqoroh: 264) Saat beramal ia akan memilih yang terbaik dari harta, tenaga dan pikiran yang dimilikinya. Pada saat seperti ini ia ingat firman Allah, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imron: 92) Ketiga: Tambah usia, berkurang ambisi-ambisi keduniawiannya. Bertambahnya usia menjadikannya sadar dan paham bahwa ia akan segera mengakhiri masa baktinya di dunia. Ketika rambut mulai beruban, kulit keriput, gigi rontok, pendengaran dan penglihatan mulai berkurang itu sebagai pertanda bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi. Saat muda ia sibuk dengan banyak urusan dunia, maka setelah tua ia menyibukkan diri dalam persiapan menuju perjalanan akhirat. Ia sadar betul firman Allah, “Dan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”(Al A’laa: 17). Dan juga firmannya, ‘Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).” (Adh-Dhuha: 4) Keempat: Tambah harta, tambah dermawan Adanya harta tidak justru membuat ia kikir. Ia sangat dermawan. Karena ia sadar bahwa harta itu pemberian dan titipan Allah. Ia tidak bermegah-megahan. Tidak pula menghalalkan segala cara untuk menambah dan menumpuk harta. Terhadap orang-orang yang lalai ia mengambil pelajaran. Ia tidak mau terjerumus dalam lubang yang sama, sebagaimana Qorun, Tsa’labah, Hamman, fir’aun, Abu Jahal terperosok dalam lubang dunia. Bahkan dalam kondisi sulit sekalipun ia tetap dermawan. Ia ingat selalu firman Allah, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imron: 134) Kelima: Tambah kedudukan, tambah dekat pada manusia Ketika ia mendapat kedudukan tertentu di kalangan manusia, ia tidak gelap mata. Tidak congkak dan sombong. Tidak pula memperlakukan orang lain seperti budak. Ia justru semakin dekat dan sayang kepada manusia yang lain. Kedudukan dan jabatan yang disandang tidak menjadikannya menggunakan ‘aji mumpung’, sehingga digunakan untuk kedzoliman. Ia jauhi betul sikap menindas dan aniaya. Karena ia sadar betul bahwa semua nikmat yang kini ia peroleh akan dimintai pertanggungjwabannya oleh Allah. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al Isro’: 36) Semoga Allah mengkaruniakan kepada kita lima tambahan nikmat tersebut. Dan kita pun dapat bersikap bijak seperti penjelasan diatas. Amin! http://UangDownload.com/42590

5/14/2013

Apa itu SEKTARIANISME??

Assalamu'alaikum warrahmatullah... Kaum Khariji adalah yang pertama bertanggung-jawab atas penciptaan sekte-sekte dalam Islam. Ada riwayat yang jelas disebutkan tentang mereka bahwa mereka mengguncang solidaritas kaum Muslim, bukan karena mereka berbeda dengan para sahabat Nabi Suci Muhammad s.a.w. dalam beberapa perkara, melainkan juga karena adalah mereka yang pertama-kali mulai melontarkan takfir (pengumuman kekafiran) di antara kaum Muslim. Pada saat itu, Hazrat �Ali dan Hazrat Mu�awiyah terlibat dalam pertempuran. Kaum Khariji berfihak kepada �Ali namun mereka meminta agar �Ali harus mengumumkan Mu�awiyah dan antek-anteknya sebagai kafir serta di luar pagar Islam. Hazrat �Ali menolak berbuat demikian dan dengan jelas berkata: �Mereka adalah juga saudara-saudara kita yang telah berontak melawan kita; kita tidak menyatakannya sebagai kafir atau melanggar batas (fasik)�. Jika beberapa renungan diberikan kepada ayat-ayat Qur�an tentang poin ini, akan jelas bahwa kaum Muslim dilarang untuk dua perkara, yakni, menjadi terpecah dalam sekte-sekte dan dari memecah agama. Dua-duanya dari ini adalah akibat takfir. Setiap golongan yang menyatakan yang lain sebagai kafir (barangkali golongan itu lebih besar jumlahnya dan menyebut dirinya golongan terbesar di antara kaum Muslim), ketika dia terlibat dalam takfir terhadap penganut Kalimah (tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya), sungguh telah menciptakan perpecahan dalam barisan Islam dan menghancurkan basis dimana kaum Muslim bisa bersatu. Bila inti-sari agama dibatasi dalam beberapa problim dimana satu golongan berbeda dengan yang lain, dan prinsip keimanan sepenuhnya diabaikan, inilah betapa agama itu menjadi terpecah. Akibatnya adalah bahwa seluruh tenaga seseorang itu disia-siakan untuk perkara-perkara yang �pinggiran� pentingnya. Partai-partai demikian terlibat dalam perbedaan remeh-temeh semacam itu sehingga tak seorang pun peduli apakah landasan keimanan itu sendiri telah dihancurkan. Karena itu, basis sektarianisme adalah pengumuman pengafiran (takfir) terhadap sesama Muslim. Aspek menyedihkan dari kisah ini adalah bahwa ketika orang-orang mulai saling mengutuk karena perbedaan kecil, kekuatan bangsa menjadi lemah. Kekuatan yang seharusnya digunakan demi kemajuan Islam berkeping-keping karena tindakan saling mengutuk. Ketika Qur�an meletakkan landasan besar persaudaraan Islam dan menyatakan: Innamal mu�minuna ikhwatun (Semua kaum mukmin adalah saudara � 49:10), ini tidak menisbikan kemungkinan timbulnya perbedaan yang jujur antara kaum Muslim. Di tempat yang sama ditunjukkan bahwa jika dua golongan mukmin bertengkar, maka damaikanlah di antara mereka (49:9). Kini, kedua golongan yang berselisih dianggap mukmin di sini. Inilah pelajaran yang dilupakan kaum Muslim hari ini. Toleransi yang diharapkan kaum Muslim yang ditunjukkan kepada para penganut agama-agama lain hendaknya dilakukan dengan lebih luas di kalangan mereka sendiri. Mereka hendaknya belajar menghormati ide yang lain dan menolerir perbedaan pandangan di antara mereka. Tetapi keadaan mereka kini adalah bahwa pada saat seseorang berbeda pandangan dengan mereka untuk suatu perkara, dia seketika mengumumkannya sebagai kafir dan murtad. Menganiaya dan membunuhnya dengan segala cara dianggap sebagai perbuatan sangat mulia. Masalah utamanya bukanlah bahwa di antara kaum Muslim ada orang-orang yang berbeda dengan pandangan mereka, yang betapapun adalah satu persyaratan penting bagi kemajuan Islam, melainkan bahwa kaum Muslim tidak dapat menolerir perbedaan pandangan yang jujur. Di segi yang lain, para sahabat Nabi Suci menunjukkan kelapangan hati yang besar berkenaan dengan perbedaan pandangan di antara mereka. Meskipun demikian, jika suatu kaum berbeda dalam beberapa perkara dan mereka lebih menyukai satu pandangan yang berbeda, ini tidak bisa disebut sektarianisme. Tetapi kalau dikarenakan perbedaan ini, seorang saudara Muslim dinyatakan kafir dan boleh dianiaya, yang secara keliru diperkirakan ini adalah perbuatan berjasa serta sumber pahala yang besar (thawab), maka itulah namanya bahwa kejahatan sektarian telah mulai berakar dalam masyarakat. Seseorang tidak melakukan kesalahan sektarian ketika dia, yang sepenuhnya beriman dalam Kalimah serta Qur�an sebagai firman Allah; beranggapan bahwa beberapa ide atau adat dan kebiasaan kaum Muslim itu bertentangan dengan Qur�an dan Hadist. Jika ini adalah sektarian, maka ruang lingkup bagi reformasi kaum Muslim berarti sudah ditutup. Saat ketika kaum Muslim dibebaskan dari kutuk takfir, saat ketika mereka berhenti berencana untuk saling menghancurkan, maka perbedaan di antara mereka sungguh suatu rahmat tak terduga. Wassalamualaikum,