3/31/2012

Diskusi dengan Qadiani


AL-KHILAFAH FIL ISLAM,
IKUTI SERUAN MUJADDID PADA ABADNYA!

Membicarakan Khalifah dalam konteks agama Islam tentulah kita sebagai umat Muslim tidak boleh terlepas dari pijakan Qur’an Suci dan Hadits, apa dan bagaimana keKhalifahan itu menurut konsep Islam haruslah kita tempatkan pada posisi yang tepat. Tegaknya kekhalifahan pasca wafatnya Nabi Suci adalah merupakan janji Allah yang tentunya tidak seorang Muslimpun meragukannya. Nubuat tegaknya Khalifah Islamiyah ini terdapat dalam surat Annur ayat 55 (Qs 24:55)


Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan berbuat baik, bahwa Ia pasti akan membuat mereka penguasa di bumi sebagaimana Ia telah membuat orang-orang sebelum mereka menjadi penguasa, dan bahwa Ia akan menegakkan bagi mereka agama mereka yang telah Ia pilih, dan bahwa Ia akan memberi keamanan sebagai pengganti setelah mereka menderita ketakutan. Mereka akan mengabdi kepada-Ku, dan tak akan menyekutukan Aku dengan apa pun. Dan barangsiapa sesudah itu tidak terima kasih, mereka adalah orang yang durhaka (Qs 24:55)

Menurut Abu Sa’id Abdullah bin ‘Umar Al-Baidlawi dalam kitab tafsirnya Anwa­rut-Tanzil wa Asrarut-Ta’wil Yang dimaksud orang-orang sebelum mereka ialah para pengikut Nabi Musa. Dikarenakan masih terpaut dengan Nabi Musa maka ada baiknya kita flash back untuk melihat Nubuatan Nabi Musa tentang kedatangan Nabi Suci. Dika­takan :

Seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. (Ulangan 18:18)

Pada umumnya ulama Islam yang mempunyai spesialisasi di bidang Kristologi mengatakan bahwa persamaan antara Nabi Musa dengan Nabi Suci Muhammad saw, adalah terletak pada sama-sama punya ayah, sama-sama terlahir normal, sama-sama menikah, sama-sama diterima kaumnya, sama-sama meninggal dan dikubur didunia
Persamaan ini benar jika tujuannya hanya untuk mendeskreditkan Yesus dari per­samaan dengan Nabi Musa (karena Umat Kristen “kekeh” mengatakan bahwa Nabi yang di janjikan yang seperti Musa adalah Yesus). Namun ke 5 persamaan di atas sangat tidak spesifik sebab kita tahu para Nabi yang punya Ayah bukan hanya Nabi Musa dan Nabi Muhammad saja, para Nabi yang terlahir normal bukan hanya Nabi Musa dan Nabi Muhammad saja, para Nabi yang menikah bukan hanya Nabi Musa dan Nabi Muhammad saja, Yang diterima oleh kaumnya bukan hanya Nabi Musa dan Nabi Muhammad saja dan yang meninggal lalu dikubur di dunia bukan hanya Nabi Musa dan Nabi Muhammad saja. Persamaan antara Nabi Musa dengan Nabi Muhammad yang spesifik dan unik adalah terletak pada kekhalifahan pasca wafatnya mereka. Setelah Nabi Musa wafat maka Allah ta’ala mengutus utusan :

Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab kepad Musa, dan sesudah dia, Kami utus berturut-turut para Utusan (2:87)

Namun dalam Qur’an Suci ditegaskan bahwa Nabi Suci Muhammad adalah Khata­man-Nabiyyin (Qs 33:40) di mana setelahnya tidak akan datang lagi baik nabi baru mau­pun nabi lama maka pasca Nabi Suci wafat orang yang datang menggantikannya (baca: Khalifah) bukan seorang Nabi. Nabi Suci menjelaskan:

Adapun Bani Israil itu dipimpin oleh Nabi-Nabi setiap seorang nabi wafat maka datanglah nabi yg lain, dan sesungguhnya sesudah saya tdk akan datang nabi lagi, tetapi akan ada khalifah-khalifah yang banyak (Bukhari)

Karena itu salah sekali jika ada anggapan bahwa Khalifahnya Nabi Suci hanya terbatas pada Khalifatur Rasyidin yakni Hadzrat Abu Bakar As-Shiddiq, Hadzrat Umar bin Khattab ra, Hadrat Utsman ra, dan Hadzrat Ali ra. Orang yang berpandangan demikian hendaklah merenungkan dimanakah letak keagungan Nabi Suci[i] dibanding Nabi Musa jika kepada Nabi Musa Allah mengutus banyak sekali khalifahnya (yakni para nabi Is­raeli) sedangkan dalam umat Nabi Suci Muhammad hanya terbatas empat Khalifah saja?[ii].  Menurut pendapat saya anggapan demikian sama saja dengan tuduhan kaum kafir Quraisy yang mengatakan bahwa Nabi Suci itu adalah Abtar[iii](Qs 108:3). Anggapan ini tentunya tidak akan terjadi bila kita mencermati nubuatan persamaan Nabi Suci dengan Nabi Musa. Dalam umat Nabi Musa, ada Khalifah yang sifatnya Duniawi saja seperti Yo­shua, ada yang bersifat Rohani saja seperti Nabi Musa namun ada yang datang dengan membawa kedua-duanya yakni kejayaan Duniawi dan Rohani seperti Nabi Daud. Begi­tupula halnya dengan umat Nabi Suci Muhammad. Khalifah Nabi Suci ada yang mem­bawa kejayaan Duniawi seperti halnya para Khulafaur Rasyidin namun ada juga yang bersifat Rohani. Khalifah Nabi Suci yang bersifat Rohani inilah yang nampaknya lu­put dari mata kita hingga banyak sekali ajaran-ajaran mereka diabaikan bahkan ditentang habis-habisan. Khalifah Nabi Suci yang bersifat Rohani ini bukan nabi[iv], mereka adalah para Mujaddid yang senantiasa dibangkitkan Allah tiap-tiap abad, Nabi bersabda:
Innallaha yab’atsu lihadzihi ummati ‘ala rasi kulli mi atin man yujaddidu laha dinaha
“Sesungguhnya Allah akan membangkitkan bagi umat ini (Muslim) pada permulaan tiap abad (Hijriah) orang-orang yang memperbaharui (Mujaddid) ajaran-ajaran agamanya”.(Hr Abu Daud Sulaiman, wafat 274 H., Kitab al-Sunan, Ch. al-Maluhim; dicetak dr Ansari Press, Delhi, India, vol. 2, hal. 241),
sejarah mencatat pada tiap-tiap abad ada saja pengakuan kemujaddidan seperti:

Abad pertama: Umar bin ‘Abdul Aziz
Abad kedua: Imam Syafi’ie & Imam Ahmad bin Hanbal
Abad ketiga: Abu Sharh & Abul Hasan ‘Asy’ari
Abad keempat: Abu Ubaidullah dr Neshapur & Qadi Abu Bakr Baqilani
Abad kelima: Imam al-Ghazali
Abad keenam: al-Sayyid Abdul Qadir Jailani
Abad ketujuh: Imam Ibnu Taimiyyah & Khwaja Muinuddin Khisti
Abad kedelapan: Ibnu Hajar Asqalani & Salih ibn Umar
Abad kesembilan: Sayyid Muhammad Jaunpuri
Abad kesepuluh: Imam Suyuthi
Abad kesebelas: al-Saikh Ahmad, dr Sirhind (Mujaddid Alfitsani
Abad keduabelas: Syah Waliyullah Muhaddats Dehlavi
Abad ketigabelas: Sayyid Ahmad Barelavi
(Sumber: Nawab Siddiq Hassan Khan, Hujajul-Kiramah, hal. 135-139, diterbitkan oleh Shah Jehan Press, Bhopal, Pakistan)

Tentang Mujaddid abad ke-14 Hijriah dikatakan:

“dan pada permulaan abad ke-14, yang masih tinggal sepuluh tahun lagi, apabila terjadi datangnya Mahdi dan turunnya Yesus, mereka akan merupakan Mujaddid dan Mujta­hid”.(Ibid: Hal 139)[v]

Jauh sebelumnya Nabi Suci telah menubuatkan masalah kekhalifahan ini dan kon­sep khalifah di akhir zaman yakni:

Prophethood shall remain among you as long as Allah shall will. He will bring about its end and follow it with khilafat on the presepts of prophethood for as long as He shall will and then bring about its end. A tyrannical monarchy will then follow and will remain as long as Allah shall will and then come to an end. There will follow there after monarchi­cal depotism to last as long as Allah shall will and come to an end upon His decree. There will then emerge Khilafat on percept of prophethood (Musnad Ahmad)

Masa Khilafah Rasyidin yang dikatakan sebagai khilafat on the precept of prophethood (Khilafat minhajin nubuwwah) selama Allah menghendaki dimulai dengan Abu Bakar Siddiq, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan berakhir dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Arti dari Khilafat minhajin nubuwwah adalah suatu kekhali­fahan yang mengikuti petunjuk, aturan, pelaksanaan nilai moral sesuai dengan contoh yang diberikan Nabi Suci. Jadi khilafat setelah wafatnya Nabi Suci berakhir de­ngan wafatnya Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian tidak benar pendapat Hizbut Tahrir bahwa Khilafat Islami berakhir dengan dibubarkannya kekhalifahan Turki Utsmani oleh Mustafa Kemal Pasha pada tahun 1924. Kemudian muncul kerajaan-kerajaan Tirani (Malikan Adhdhon) selama masa yang panjang, dimulai dengan Mu’awiyah dan berlang­sung sampai berakhirnya Bani Umayah. Kemudian akan muncu kerajaan-kerajaan Di­taktor (Despotik – Malikan jabriyyatan) yang tidak kalah bengisnya dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan dalam silsilah sebelumnya, dan berakhir dengan runtuhnya Bani Abasiyah dan Fatimah. Setelah masa malikan adhdhon dan malikan jabriyyatan berakhir maka kini era yang tampil adalah kembalinya era Khilafat minhajin nubuwwah[vi] yakni suatu kekhalifahan yang mengikuti petunjuk, aturan, pelaksanaan nilai moral sesuai deng­an contoh yang diberikan Nabi Suci, siapakah mereka itu?, jawabannya adalah, kini saat­nya para Mujaddid –yang selama ini datang hanya dengan kekuasaan rohani tidak dengan kekuasaan Duniawi-- tampil memimpin dunia Islam dengan menjadi Khalifah dan ulil amri Duniawi dan Rohani. Saya berkeyakinan bahwa hanya manusia dari Allah sajalah yang bisa menyatukan segala macam perbedaan firqah umat Islam, hanya manusia dari Allah sajalah yang bisa menyatukan bahkan merekatkan kembali perpecahan Suni-Syiah, hanya manusia dari Allah sajalah yang bisa tampil cantik dalam menghadapi segala macam perbedaan mazhab, sekte bahkan akidah bukan hanya dalam intern umat Islam melainkan antara umat Islam dan non Islam sebab Nabi Suci juga menubuatkan dalam haditsnya
“saya ini Al-Hasyir (yang mengumpulkan) karena yang mengumpulkan segala manusia mengikuti jejakku” (HR Bukhari-Muslim)
Jadi Khilafat minhajin nubuwwah atau Khilafah yang besifat Ilhamiyah[vii] ini akan tam­pil memimpin dunia sesuai sabda Nabi Suci. Mereka akan berdasar kepada vox dei vox populi (suara Tuhan adalah suara Rakyat) bukan kepada vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), sebab:

Boleh jadi kamu tak menyukai suatu barang, sedangkan barang itu baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu menyukai suatu barang, sedangkan barang itu tak baik bagi kamu; dan Allah tahu, sedangkan kamu tak tahu (Qs 2:216)

Mungkinkah dalam keadaan itu yang menjadi Khalifah adalah Imam Mahdi? Hanya Allah Yang Maha Tahu namun yang pasti mereka adalah mahdi[viii], yakni orang yang menda­pat petunjuk dari Allah.



[i] Arti khataman Nabiyyin adalah kesempurnaan kenabian yang mana dengan datangnya itu berakhirlah silsilah kenabian. Jadi selain bermakna Nabi terakhir tersimpan makna bahwa Nabi Suci mempunyai maqam yang jauh melebihi para Nabi, hal ini terlihat ketika Mi’raj Nabi Suci yang terus melaju tinggi melebihi seluruh Nabi, bahkan dia yang meng imami para Nabi ketika shalat di masjid Al-Aqsha.
[ii] Azyurmadi Azra menulis dalam artikel Relevansi Khilafah di Indonesia, Kompas, Sabtu 18 Agustus 2007 hal 6, bahwa “Kekhalifahan (Khilafah), menurut sejarawan terkemuka Ibn Khaldun, tamat dengan berakhirnya al-Khulafa’ al-Rasyidun”
[iii] Kata abtar berasal dari kata batr, maknanya memutus atau memotong sama sekali suatu barang; jika kata ini diterapkan bagi binatang, ini berarti binatang yang terputus. Kaum Kafir Quraisy acapkali sesumbar, bahwa dikarenakan Nabi Suci tidak mempunyai keturunan laki-laki maka silsilah dia akan terputus (abtar) yang karenanya kelak nama Muhammad akan segera dilupakan dan tenggelam karena tidak ada yang seorangpun yang akan menyandang nama “Fulan bin Muhammad”. Qur’an Suci merupakan kitab yang penuh dengan hikmah, setiap untaian katanya tersirat makna yang sangat agung, dalam surat Al-Ahzab dikatakan: Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang kamu, melainkan dia itu Utusan Allah dan segel (penutup) para Nabi. Dan Allah senantiasa Yang Maha-tahu akan segala sesuatu. (Qs 33:40), secara jasmani Nabi Suci memang tidak mempunyai keturunan (Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang kamu) namun beliau adalah seorang Rasul Allah (melainkan dia itu Utusan Allah). Tiap-tiap Rasul merupakan ayah ruhani bagi umatnya, itu sebabnya ditempat lain dikatakan bahwa istrinya Nabi Suci merupakan ummul mukminin (Ibunya kaum Mukmin) (Qs 33:6). Silsilah keruhanian Nabi Suci akan terus-menerus berlangsung hingga hari kiamat sebab setelah beliau tidak akan datang lagi nabi, baik nabi baru maupun nabi lama. Karena kedatangan seorang nabi setelah Nabi Suci akan memutus garis keturunan Nabi Suci dan menggantikan garis keturunan Nabi Suci dengan Nabi yang datang itu, itulah sebabnya setelah diterangkan Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang kamu, melainkan dia itu Utusan Allah Allah menetapkan bahwa Nabi Suci adalah dan segel (penutup) para Nabi (Khataman-Nabiyyin). Memang secara general seluruh umat Muslim merupakan anak-anak rohani Nabi Suci, namun yang sedang saya bahas disini adalah anak rohani dalam konteks Khalifah Nabi Suci dimana kata Khalifah berasal dari kata khalafa, artinya ia datang kemudian atau menggantikan orang lain yang sudah wafat atau tak ada lagi. Jadi konteks Khalifah Nabi Suci disini adalah seorang Muslim yang karena ketaatannya kepada Qur’an Suci, Hadits dan Sunnah Rasul membuat ia menjadi mazhar (cermin) sempurna dari kehidupan Baginda Rasul dan muslim itulah yang menjadi Khalifah Nabi Suci
[iv] Meskipun bukan nabi namun mereka mempunyai persamaan yang kuat dengan Nabi, dalam Hadits dikatakan “Ulama fi Ummati ka ambiya bani Israil” (Ulama dalam umat ku seperti nabi-nabi Bani Israel) Al ulama waritsun ambiya (ulama adalah pewaris para nabi). Dikatakan mempunyai persamaan yang kuat karena kepadanya Allah berkenan berwawanSabda, dalam Hadits dikatakan Sesungguhnya di antara orang-orang sebelum kamu terdapat banyak pribadi yang diberi sabda Ilahi sekalipun mereka bukan Nabi; jika di antara umatku ada orang yang seperti itu, maka orang itu adalah ‘Umar (Bu. 62:6).

[v] Nawab Siddiq Hassan menulis bukunya 10 tahun sebelum memasuki abad 14 H, dia berkeyakinan Mujaddid abad 14 itulah Al-Masih yg dijanjikan dan juga Mahdi. Mungkin dia melihat bahwa kedatangan Al-Masih nya bani Israel adalah 14 abad setelah Nabi Musa, begitupula Al-Masih nya umat Islam akan turun 14 abad setelah Nabi Suci Muhammad saw
[vi] Ahmadiyah Qadiyani senang sekali menggunakan dalil ini demi tegaknya khalifah mereka, yang perlu dicermati dalam hadits ini adalah Khilafat minhajin nubuwwah adalah merujuk kepada kekhalifahan Nabi Suci Muhammad, bukan kenabian selain/setelah Nabi Muhammad sebab diawal hadits tersebut dikatakan Prophethood shall remain among you as long as Allah shall will. He will bring about its end jadi setelah Nabi Suci tidak akan datang lagi nabi.
[vii] Zaman Nabi Suci dan tiga generasi setelahnya dikatakan generasi terbaik sebab diantara mereka masih banyak sahabat yang melihat langsung contoh dan teladan Nabi Suci dan mereka mempraktekannya sehingga menjadi satelite bagi generasi yang tidak bisa melihat Nabi Suci. Begitupula mereka yang hidup pada zaman generasi sahabat (Tabi’in) bisa melihat langsung kehidupan suci sahabat dan menjadi satelite bagi mereka yang tidak bisa melihat kehidupan sahabat dan seterusnya hingga generasi ke tiga (300 tahun), lalu setelah itu Allah akan menarik perkara Islam selama seribu tahun (Qs 32:5) hingga dikatakan dalam hadits Iman telah terbang ke bintang Tsuraya (B. 65: LXII) namun setelah masa itu (300 tahun + 1000 tahun, yakni 14 H) Islam akan mulai bersinar kembali. Para Khalifah yang akan memimpin Islam harus bersifat Ilhamiyah sebab sangat sulit sekali untuk memfilter air yang turun dari hulu --karena jauhnya dari sumber air tersebut menyebabkan air itu bercampur tanah dan kotoran—tanpa bantuan langsung dari Allah, sedangkan tugas mereka selain menyajikan air yang suci bersih dan segar sebagaimana air yang turun dari hulu mereka juga berkewajiban menjadi contoh sempurna dari Nabi Suci bagi umat yang sama sekali terpisah jauh dari kehidupan tabi’in, sahabat apalagi kehidupan Nabi suci
[viii] Mahdi adalah orang yang mendapatkan Al-huda (petunjuk) dari Allah,

No comments:

Post a Comment